Motor roda tiga, upaya para
difabel untuk mandiri
Sulitnya mendapatkan angkutan umum yang mau mengangkut warga difabel, mendorong Catur Bambang menciptakan motor khusus untuk mereka.
Seorang pria melambaikan tangannya ke arah saya usai saya menutup pintu taksi yang perlahan merambat jalan. Sosoknya terlihat lincah dan cekatan, tak terlihat kalau fisiknya tak sempurna.
Dialah Catur Bambang (44) pemilik bengkel modifikasi motor khusus untuk kaum difabel, yang juga merupakan seorang dengan kekurangan fisik. Catur kehilangan kedua kakinya karena sebuah kecelakaan.
Bengkel miliknya cukup asri dan teduh, terletak di Ruko PU Komplek Mabad 60 Kecamatan Ciputat Timur, Jalan Wijaya Kusuma, Rengas, Kota Tangerang Selatan, Banten. Lokasinya tak jauh dari TK 17 Agustus, yang dijadikannya patokan ketika memberikan alamat kepada saya.
Setelah menyalami saya, ia lalu memperkenalkan Supri, rekan kerjanya, dan beberapa konsumen yang tengah berada di bengkelnya saat itu. Mereka datang dari Banten dan Bekasi, Jawa Barat.
Kami pun berbincang banyak. Ia dengan santai bercerita di atas motor hasil karyanya, sementara saya berdiri dengan tangan menopang jok motor tersebut.
Perbincangan kami tentunya seputar pengalamannya dalam proses membangun bengkel untuk para pemotor difabel.
Catur cukup miris melihat kaum difabel masih diperlakukan tak adil, bahkan belum menjadi prioritas. Misalnya saat mereka menumpang angkutan umum atau layanan publik lainnya.
Padahal dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2016 (berkas PDF) disebutkan, "bahwa untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya".
UU baru ini menggantikan UU nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas.
Catur menyatakan ia memang kerap melihat spanduk bertuliskan himbauan untuk mengutamakan orang tua dan kaum difabel, namun kenyataan tak semanis tulisan itu.
Karenanya ia bertekad mandiri dan ingin benar-benar menjadi manusia yang tak merepotkan orang lain, terutama dalam hal transportasi.
Atas dasar itulah ia merancang dan merakit sendiri motor roda tiga guna kepentingan transportasinya sendiri. Keberhasilan itu menjadi awal dari bisnis yang dijalankannya saat ini.
"Saya tergerak membangun ini karena masalah transportasi tentunya. Selain itu saya mau kaum kami (difabel) tak mau merepotkan orang banyak, sehingga terkadang diremehkan," cerita pria berdarah Surabaya yang membuka gerai bengkelnya sejak 2004 tersebut.
"Saya juga membuat modifikasi motor untuk semua jenis cacat, dari yang tak berkaki maupun tangan."
Bangkit dari keterpurukan
Mengingat ke belakang, pria yang sebelumnya bekerja sebagai pegawai pemerintah ini mengatakan hidupnya nyaris hancur ketika sebuah kecelakaan kerja menimpanya pada 1993. Kecelakaan itu membuat Catur harus kehilangan kedua kakinya, pun kemudian pekerjaannya.
Sempat terpuruk, Catur, didukung istrinya, Rumandang Tinambunan (41), mencoba bangkit menata kehidupannya kembali.
Karena penyandang cacat sulit mendapatkan pekerjaan, lulusan SMA asal Surabaya ini kemudian membangun bisnis jasa perbaikan perangkat elektronik pada 1999. Akan tetapi ia menghadapi kesulitan lain; nyaris tak ada angkutan umum yang mau mengangkutnya dari rumah ke lokasi kerja.
Kesulitan itu memberinya tantangan baru. Akhirnya, walau tak memiliki pengetahuan mengenai modifikasi kendaraan, Catur bertekad untuk membuat kendaraan yang bisa membawanya pergi ke manapun, tak tergantung pada angkutan umum.
Beberapa kali gagal, upaya tersebut akhirnya menemui hasil, sebuah sepeda motor roda tiga hasil rakitannya sendiri.
"Saya memulai semuanya dengan modal sendiri, dan bekerja sendiri, sampai akhirnya mendapatkan motor yang benar-benar pas buat saya. Hingga akhirnya banyak orang yang seperti saya memesan kepada saya," ceritanya.
Banyaknya pemesan membuat Catur kemudian beralih usaha dan mendirikan bengkel modifikasi kendaraan roda tiga itu pada 2004.
Kini ia mampu mengubah hampir semua jenis sepeda motor --skuter matik, motor bebek, hingga kelas sport-- untuk menjadi kendaraan yang bisa digunakan oleh para penyandang cacat.
Laris manis
Catur mengaku bangga memiliki bengkel yang ia bangun sendiri. Saat ini ia mempekerjakan 2 orang anak buah, Supri dan Ucup.
Ia menuturkan dalam satu bulan ada 8 hingga 10 pesanan motor datang padanya. Itu artinya, dalam seminggu ia harus menyelesaikan minimal dua unit motor modifikasi.
Telah memiliki mesin bubut dan mesin las, Catur mengaku masih bekerja sama dengan bengkel las lain untuk merakit sasis penopang roda belakang saat permintaan melonjak.
"Semuanya dari wilayah Indonesia, 60 persen dominasi dari Jawa," jelas Catur.
Dengan pengerjaan selama 5-7 hari, catur mematok biaya modifikasi yang berkisar antara Rp8 juta hingga Rp15 juta, tergantung kesulitan pembuatan.
"Semua jenis motor sudah pernah saya garap, kecuali Harley (Harley-Davidson, Red), karena memang susah," akunya.
Kebanggaannya makin meningkat kala salah satu kepanjangan tangan pabrikan otomotif besar di Tanah Air, PT Wahana Makmur Sejati (WMS), mengajaknya bekerja sama.
Pada beberapa kesempatan pameran, seperti Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta (PRJ), produk Catur acapkali dipajang sebagai sebuah simbol kemandirian kaum difabel.
"Ya tentu saja saya senang, karena Wahana suka kepada produk saya dan suka juga kasih order (pesanan, red.) ke saya. Bahkan sekarang pesanan merambah dari kalangan komunitas," ujarnya.
Beritagar.id berkesempatan untuk mengamati cara Catur bekerja. Walau cukup banyak perubahan pada sebuah motor standar yang dilakukannya, ada lima modifikasi yang menurut saya cukup penting.
Pertama, lengan ayun yang dibuat menggunakan pipa kotak dan menggunakan las listrik sebagai metode penghubungnya. Lengan ini di buat bercabang agar mampu menopang kedua roda belakang.
Yang kedua meliputi penggerak motor yang menggunakan kombinasi sproket dan rantai, metode sederhana yang diterapkan pada motor bebek. Akan tetapi pada motor berjenis skutik, Catur membuat sasis penghubung berbentuk bingkai yang terhubung pada poros CVT, hingga mampu menggerakkan dua roda belakang.
Pada motor skutik, perubahan itu berimbas kepada tarikan yang sedikit lebih berat karena sabuk CVT yang harus menarik dua roda sekaligus.
Kemudian, penambahan tuas untuk memundurkan motor. Menurut Catur, ini adalah bagian yang paling rumit untuk dikerjakan.
Hal penting keempat adalah memindahkan rem depan dan belakang ke setang bagi motor bebek. Pemindahan itu tentu saja tidak perlu dilakukan pada varian motor skutik.
Terakhir, penambahan behel motor --gagang pegangan-- yang dimodifikasi agar seimbang saat mengangkut kursi roda.
Modifikasi motor, apakah menggunakan tiga roda atau menambah sespan di samping untuk mengangkut kursi roda, semua disesuaikan keinginan pelangan. Agar mereka tak kebingungan, Catur telah menyediakan beberapa contoh yang dapat dijadikan sebagai model rujukan.
Selain itu, Catur juga memberikan kursus mengemudi gratis bagi difabel yang belum bisa berkendara.
Salah seorang pelanggan, Ahmad (29), yang berasal dari Cempaka Putih, mengaku puas dengan perombakan yang dilakukan Catur. Motor roda tiga yang kini dikendarainya itu terasa nyaman dan material yang digunakan pun berkualitas.
"Pernah beberapa kali nyoba ke bengkel lain, tapi di bengkel Catur ini sih yang paling pas," kata Ahmad.
Penyandang disabilitas akibat kecelakaan dua tahun lalu itu menyatakan aktivitasnya kini kembali lancar pascaberkendara dengan motor hasil modifikasi bengkel Catur.
"Secara umum, saya puaslah. Hasilnya memuaskan," tegasnya.
Catur mungkin bukan satu-satunya penyandang cacat yang menciptakan karya, banyak dari kaumnya juga yang memiliki prestasi yang serupa.
Namun begitu, dari ceritanya kita dapat menarik kesimpulan bahwa di bawah kekurangan mereka, terpatri motivasi yang kuat dan luar biasa.
"Kami tak ingin merepotkan dan tak ingin bergantung kepada orang lain, tetapi kami meminta kepada aparat agar jangan mempersulit kami para pemotor difabel, saat pembuatan SIM misalnya, masih banyak orang-orang seperti saya yang dipersulit," harap Catur.
Dinamika pemotor difabel
Cerita ternyata tak tuntas sampai di sana. Kaum pemotor difabel yang dibekali dengan SIM D (khusus difabel), ternyata juga memiliki masalah ketika berkendara di jalan raya.
Salah satunya ketika mereka melakukan pengisian bahan bakar di SPBU. Para pemotor difabel kerap dipandang sebelah mata dan tak dilayani selayaknya.
Karena motor mereka lebar, tentunya tak pas masuk dalam jalur kategori motor, mau tak mau harus masuk ke jalur mobil, namun terkadang suka tak dilayani atau di "pingpong".
Selain di SPBU, masalah juga kerap menimpa mereka adalah saat di parkiran pusat perbelanjaan yang kerap diperlakukan semena oleh juru parkir.
"Kasusnya sama seperti di SPBU itu, kalau parkir di pusat belanja suka dicarikan tempat yang jauh. Tidak boleh di tempat parkir motor maupun mobil," terang Catur.
Akan tetapi, ragam upaya dilakukan ayah dari Angga Samuel (10) itu terhadap masalah-masalah tadi. Mulai pendekatan dengan pihak SPBU hingga pihak pusat perbelanjaan.
Usaha itu, menurutnya, sudah mulai mendapatkan hasil, walaupun belum memuaskan. Ia juga berharap pemerintah lebih memperhatikan hal-hal seperti itu.
Untuk menguatkan rasa persaudaraan dengan sesama pemotor difabel, Catur dan beberapa koleganya membentuk komunitas sendiri bernama Difabel Motor Community (DMC) yang bermarkas di bengkel Rempoa.
Selain itu ada beberapa komunitas pengendara difabel lainnya, termasuk Difabel Motor Indonesia (DMI).
Keberhasilan Catur tersebut menunjukkan bahwa para difabel tidak menuntut untuk dikasihani. Mereka hanya ingin diberikan kesempatan untuk berkembang dan mendapatkan hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa, jika didukung dan diberi kesempatan, para difabel bahkan bisa melakukan hal-hal yang sulit dilakukan oleh orang-orang normal. Misalnya Sri Lestari dan Shinta Utami yang keliling Indonesia dengan motor modifikasi mereka.